Egosentris adalah perilaku orang yang mementingkan diri sendiri dan
tidak memedulikan orang lain. Ditambahkannya lagi, si egosentris adalah
orang yang sangat egois.Seseorang
dikatakan egosentris, bila lebih peduli terhadap dirinya sendiri
daripada orang lain. Mereka lebih banyak berpikir dan berbicara mengenai
diri sendiri dan tujuan aksi mereka, semata-mata untuk kepentingannya
pribadi. Umumnya anak masih egosentris dalam berpikir dan berbicara.
Tiga Hal Yang Mendasari Egosentrisme
1. Merasa Superior
Karena
merasa superior, anak egosentris berharap orang menunggunya, memuji
sepak terjangnya, dan diberi peran pimpinan, mereka menjadi sok
berkuasa, tidak peduli terhadap orang lain, tidak mau bekerjasama dan
sibuk bicara mengenai diri sendiri.
2. Merasa Inferior
Individu
akan memfokuskan semua permasalahan terhadap diri sendiri karena merasa
tidak berharga didalam kelompok. Anak yang demikian biasanya mudah
dipengaruhi dan selalu mau disuruh orang lain. Karena selalu merasa
bahwa andil mereka dalam kelompok sangat kecil. Maka seringkali mereka
justru diabaikan namun bukan berarti mereka tidak disukai.
3. Merasa Jadi Korban
Perasaan
tidak dilakukan secara adil membuat mereka marah kepada semua orang.
Akibatnya, keinginan mereka untuk ikut andil dalam kelompok sangat kecil
dan kelompok cenderung mengabaikan mereka. Apabila mereka menunjukan
kemarahannya secara agresif, maka kelompok akan menolaknya.
Penyebab
Dasar dan pembentukan sikap dan perilaku egosentris umumnya berasal dari rumah, yaitu:
1. Terlalu dilindungi
Anak
yang selalu dilindungi dari pengalaman lingkungan yang biasanya dialami
anak seusianya, seperti ditunggui disekolah akan mengembangkan harapan
bahwa semua akan melakukan sesuatu untuknya.
2. Favoritisme orang tua
Anak
yang menjadi favorit orang tua akan menjadi superior, sebaliknya anak
tidak favorit akan merasa inferior dan menjadi korban.
3. Aspirasi orang tua
Aspirasi
orang tua yang tertanam kuat dalam benak anak menjadikan anak
egosentris dalam upayanya mencapai tujuan. Keberhasilan membuat mereka
superior sebaliknya kegagalan menyebabkan mereka inferior.
4. Usia orang tua
Orang
tua yang masih muda cenderung mempunyai kepedulian lebih banyak
terhadap masalah mereka sendiri ketimbang orang tua yang sudah berumur.
Orang tua yang sudah berumur lebih berorientasi pada anak dan ternyata
hal inilah yang justru mengarahkan anak menjadi egosentris.
5. Urutan kelahiran
Anak sulung dan bungsu dari keluarga besar seringkali berkembang menjadi egosentris, sebab mereka biasa menjadi pusat perhatian.
6. Urutan keluarga
Makin kecil keluarga makin besar pula kemungkinan anak menjadi egosentris.
7. Jenis kelamin anak
Biasanya
anak laki-laki sulung dituntut untuk mandiri. Sebaliknya anak perempuan
sulung sering kali terlalu dilindungi sehingga menjadi egosentris.
Pencegahan
1. Bersikap adil
Bersikap
adil pada setiap anak sesuai kebutuhan merupakan hal yang paling
mendasar dalam upaya mencegah berkembangnya egosentrisme.
2. Mengembangkan penerimaan diri anak
Penerimaan diri dapat dikembangkan dengan menerima kegagalan dan keberhasilan anak dengan empati dan sikap menghargai.
3. Pemberian tanggung jawab
Bertanggung
jawab pada orang lain dapat melatih kepedulian terhadap orang lain. Hal
ini dapat dilakukan dengan memberikan tugas pada anak seperti merawat
binatang atau turut terlibat dalam pekerjaan rumah tangga yang ringan.
4. Memberikan contoh peduli terhadap orang lain
Cara yang paling mudah adalah dengan menunjukan perhatian pada anak dengan mengembangkan empati dan komunikasi yang baik.
Penanganan
1. Mengajarkan empati
Hal
ini dapat dilakukan dengan permainan peran, seperti pada sandiwara
boneka. Berperan tertentu dapat mengontrol tingkah laku anak. Waktu itu
orang tua dapat menyelipkan nilai-nilai yang menunjukan kasih sayang
serta perhatian pada orang lain.
2. Menunjukan dan mendiskusikan hasil positif memperhatikan orang lain
Anak
lebih banyak diberi kesempatan bekerjasama dan menolong orang lain.
Pengalaman kerjasama dalam kelompok dapat diperoleh dalam berbagai
kegiatan. Misalnya, kelompok menggambar, begitu pula dengan menolong
orang lain , seperti memberi sumbangan pada rumah yatim piatu. Anak yang
terbiasa berorientasi pada diri sendiri mungkin akan merasa tertekan.
Karena itu anak perlu diajak berdiskusi mengenai perasaan positif berada
dalam kelompok. Perasaan positif yang muncul perlahan-lahan akan merasa
puas sebagai anggota kelompok.
3. Menunjukan dan mendiskusikan akibat negative egosentris
Konsep
dasarnya adalah menunjukan bahwa tingkah lakunya justru membuat ia
tidak mendapatkan apa yang diinginkan, seperti teman bermain dan
popularitas.
Bahaya Egosentrisme
Profesor
Howard Gardner, seorang jenius dari Harvard University yang dikenal
juga sebagai Bapak Kecerdasan Majemuk pernah suatu saat mengemukakan
dalam bukunya "Five Minds for the Future" bahwa orang yang terlalu
mendewa-dewakan sains dan teknologi sama seperti burung onta yang
menyembunyikan kepalanya di padang pasir yang mengira dirinya aman dari
bahaya karena sudah menyembunyikan kepalanya, padahal badannya masih
kelihatan.
Menurut Gardner, sains dan teknologi tidak mempunyai sistim nilai, karenanya dia sangat berbahaya jika tidak diseimbangkan dengan nilai-nilai dalam ranah sosial sebagai filter untuk mengakomodir respons positif dari sains yang tanpa nilai itu.
Menurut Gardner, sains dan teknologi tidak mempunyai sistim nilai, karenanya dia sangat berbahaya jika tidak diseimbangkan dengan nilai-nilai dalam ranah sosial sebagai filter untuk mengakomodir respons positif dari sains yang tanpa nilai itu.
Para
pelajar yang terus belajar siang dan malam dengan mengandalkan kekuatan
Intelligence Quotient tanpa diperkuat dengan kapasitas moral dan
tindakan kongkrit yang beretika, akan kalah dalam pertarungan hidup yang
begitu keras, karena dunia tidak bisa dihadapi oleh orang-orang berotak
encer tapi oleh mereka-mereka yang berpikiran terbuka dengan kekuatan
etika dan moral yang baik. Karena pembelajaran terbaik adalah yang
menggunakan Emotional Quotient.
Masalah-masalah
yang terjadi di lingkungan sekitar kita sangat banyak berhubungan
dengan sistim nilai yang berkembang dalam komunitas dan tatanan budaya
masyarakat kita. Tanpa rasa hormat yang memadai terhadap sistim nilai
tersebut, dapat dipastikan kita akan terjungkal ke dalam wilayah tanpa
makna yang hanya akan merugikan banyak pihak. Seorang dosen, pelajar,
birokrat atau individu yang cerdas secara akademik tapi kecerdasan
emosionalnya rendah hanya akan menjadi batu sandungan bagi orang-orang
sekitarnya. Mereka tidak bisa menangkap suasana hati dan perasaan orang
lain yang merasa tertekan dengan pola-pola tindakan mereka dalam
melayani. Asumsi yang dibangun selama ini adalah apa yang saya lakukan
adalah benar dan secara arogan menolak kebebasan berekspresi orang lain,
khususnya mereka yang berada pada posisi inferior. Banyak sekali
orang-orang yang sombong secara akademis dan tindakannya, tanpa
menyadari bahwa kekeliruannya itu dilihat oleh banyak pihak, sehingga
reputasi yang sebelumnya dia peroleh sebagai orang terhormat, akan jatuh
dengan sendirinya karena arogansi ilmiah dan benteng kesombongan yang
dia bangun di sekelilingnya.
Orang-orang
yang terlalu berambisi mendapatkan kekuasaan dalam bidang manapun dan
status apa pun seringkali terperangkap dalam superioritas ego-nya.
Orang-orang seperti ini cerdas secara akademis dan sangat menonjol dalam
lingkungannya, tapi semuanya itu hanyalah upaya untuk membangun
hegemoni kekuasaan diri yang akan menghalangi orang lain untuk
mengembangkan dirinya karena dia merasa inferior ketika melihat ada
orang yang lebih superior darinya. Solusi mengatasi egosentrisme seperti
ini adalah memiliki pikiran terbuka, menganggap dirinya tidak lebih
daripada orang lain dan dengan rendah hati menganggap di atas langit
masih ada langit.
mantaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaapppppp
BalasHapus