Senin, 15 April 2013

Egoisentris

Egosentris adalah perilaku orang yang mementingkan diri sendiri dan tidak memedulikan orang lain. Ditambahkannya lagi, si egosentris adalah orang yang sangat egois.Seseorang dikatakan egosentris, bila lebih peduli terhadap dirinya sendiri daripada orang lain. Mereka lebih banyak berpikir dan berbicara mengenai diri sendiri dan tujuan aksi mereka, semata-mata untuk kepentingannya pribadi. Umumnya anak masih egosentris dalam berpikir dan berbicara.

Tiga Hal Yang Mendasari Egosentrisme
1.      Merasa Superior
Karena merasa superior, anak egosentris berharap orang menunggunya, memuji sepak terjangnya, dan diberi peran pimpinan, mereka menjadi sok berkuasa, tidak peduli terhadap orang lain, tidak mau bekerjasama dan sibuk bicara mengenai diri sendiri.
2.      Merasa Inferior
Individu akan memfokuskan semua permasalahan terhadap diri sendiri karena merasa tidak berharga didalam kelompok. Anak yang demikian biasanya mudah dipengaruhi dan selalu mau disuruh orang lain. Karena selalu merasa bahwa andil mereka dalam kelompok sangat kecil. Maka seringkali mereka justru diabaikan namun bukan berarti mereka tidak disukai.
3.      Merasa Jadi Korban
Perasaan tidak dilakukan secara adil membuat mereka marah kepada semua orang. Akibatnya, keinginan mereka untuk ikut andil dalam kelompok sangat kecil dan kelompok cenderung mengabaikan mereka. Apabila mereka menunjukan kemarahannya secara agresif, maka kelompok akan menolaknya.

Penyebab
Dasar dan pembentukan sikap dan perilaku egosentris umumnya berasal dari rumah, yaitu:
1.      Terlalu dilindungi
Anak yang selalu dilindungi dari pengalaman lingkungan yang biasanya dialami anak seusianya, seperti ditunggui disekolah akan mengembangkan harapan bahwa semua akan melakukan sesuatu untuknya.
2.      Favoritisme orang tua
Anak yang menjadi favorit orang tua akan menjadi superior, sebaliknya anak tidak favorit akan merasa inferior dan menjadi korban.
3.      Aspirasi orang tua
Aspirasi orang tua yang tertanam kuat dalam benak anak menjadikan anak egosentris dalam upayanya mencapai tujuan. Keberhasilan membuat mereka superior sebaliknya kegagalan menyebabkan mereka inferior.
4.      Usia orang tua
Orang tua yang masih muda cenderung mempunyai kepedulian lebih banyak terhadap masalah mereka sendiri ketimbang orang tua yang sudah berumur. Orang tua yang sudah berumur lebih berorientasi pada anak dan ternyata hal inilah yang justru mengarahkan anak menjadi egosentris.
5.      Urutan kelahiran
Anak sulung dan bungsu dari keluarga besar seringkali berkembang menjadi egosentris, sebab mereka biasa menjadi pusat perhatian.
6.      Urutan keluarga
Makin kecil keluarga makin besar pula kemungkinan anak menjadi egosentris.
7.      Jenis kelamin anak
Biasanya anak laki-laki sulung dituntut untuk mandiri. Sebaliknya anak perempuan sulung sering kali terlalu dilindungi sehingga menjadi egosentris.

Pencegahan
1.      Bersikap adil
Bersikap adil pada setiap anak sesuai kebutuhan merupakan hal yang paling mendasar dalam upaya mencegah berkembangnya egosentrisme.
2.      Mengembangkan penerimaan diri anak
Penerimaan diri dapat dikembangkan dengan menerima kegagalan dan keberhasilan anak dengan empati dan sikap menghargai.
3.      Pemberian tanggung jawab
Bertanggung jawab pada orang lain dapat melatih kepedulian terhadap orang lain. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan tugas pada anak seperti merawat binatang atau turut terlibat  dalam pekerjaan rumah tangga yang ringan.
4.      Memberikan contoh peduli terhadap orang lain
Cara yang paling mudah adalah dengan menunjukan perhatian pada anak dengan mengembangkan empati dan komunikasi yang baik.

Penanganan
1.      Mengajarkan empati
Hal ini dapat dilakukan dengan permainan peran, seperti pada sandiwara boneka. Berperan tertentu dapat mengontrol tingkah laku anak. Waktu itu orang tua dapat menyelipkan nilai-nilai yang menunjukan kasih sayang serta perhatian pada orang lain.
2.      Menunjukan dan mendiskusikan hasil positif memperhatikan orang lain
Anak lebih banyak diberi kesempatan bekerjasama dan menolong orang lain. Pengalaman kerjasama dalam kelompok dapat diperoleh dalam berbagai kegiatan. Misalnya, kelompok menggambar, begitu pula dengan menolong orang lain , seperti memberi sumbangan pada rumah yatim piatu. Anak yang terbiasa berorientasi pada diri sendiri mungkin akan merasa tertekan. Karena itu anak perlu diajak berdiskusi mengenai perasaan positif berada dalam kelompok. Perasaan positif yang muncul perlahan-lahan akan merasa puas sebagai anggota kelompok.
3.      Menunjukan dan mendiskusikan akibat negative egosentris
Konsep dasarnya adalah menunjukan bahwa tingkah lakunya justru membuat ia tidak mendapatkan apa yang diinginkan, seperti teman bermain dan popularitas.

Bahaya Egosentrisme
Profesor Howard Gardner, seorang jenius dari Harvard University yang dikenal juga sebagai Bapak Kecerdasan Majemuk pernah suatu saat mengemukakan dalam bukunya "Five Minds for the Future" bahwa orang yang terlalu mendewa-dewakan sains dan teknologi sama seperti burung onta yang menyembunyikan kepalanya di padang pasir yang mengira dirinya aman dari bahaya karena sudah menyembunyikan kepalanya, padahal badannya masih kelihatan.
Menurut Gardner, sains dan teknologi tidak mempunyai sistim nilai, karenanya dia sangat berbahaya jika tidak diseimbangkan dengan nilai-nilai dalam ranah sosial sebagai filter untuk mengakomodir respons positif dari sains yang tanpa nilai itu.
Para pelajar yang terus belajar siang dan malam dengan mengandalkan kekuatan Intelligence Quotient tanpa diperkuat dengan kapasitas moral dan tindakan kongkrit yang beretika, akan kalah dalam pertarungan hidup yang begitu keras, karena dunia tidak bisa dihadapi oleh orang-orang berotak encer tapi oleh mereka-mereka yang berpikiran terbuka dengan kekuatan etika dan moral yang baik. Karena pembelajaran terbaik adalah yang menggunakan Emotional Quotient.
Masalah-masalah yang terjadi di lingkungan sekitar kita sangat banyak berhubungan dengan sistim nilai yang berkembang dalam komunitas dan tatanan budaya masyarakat kita. Tanpa rasa hormat yang memadai terhadap sistim nilai tersebut, dapat dipastikan kita akan terjungkal ke dalam wilayah tanpa makna yang hanya akan merugikan banyak pihak. Seorang dosen, pelajar, birokrat atau individu yang cerdas secara akademik tapi kecerdasan emosionalnya rendah hanya akan menjadi batu sandungan bagi orang-orang sekitarnya. Mereka tidak bisa menangkap suasana hati dan perasaan orang lain yang merasa tertekan dengan pola-pola tindakan mereka dalam melayani. Asumsi yang dibangun selama ini adalah apa yang saya lakukan adalah benar dan secara arogan menolak kebebasan berekspresi orang lain, khususnya mereka yang berada pada posisi inferior. Banyak sekali orang-orang yang sombong secara akademis dan tindakannya, tanpa menyadari bahwa kekeliruannya itu dilihat oleh banyak pihak, sehingga reputasi yang sebelumnya dia peroleh sebagai orang terhormat, akan jatuh dengan sendirinya karena arogansi ilmiah dan benteng kesombongan yang dia bangun di sekelilingnya.
Orang-orang yang terlalu berambisi mendapatkan kekuasaan dalam bidang manapun dan status apa pun seringkali terperangkap dalam superioritas ego-nya. Orang-orang seperti ini cerdas secara akademis dan sangat menonjol dalam lingkungannya, tapi semuanya itu hanyalah upaya untuk membangun hegemoni kekuasaan diri yang akan menghalangi orang lain untuk mengembangkan dirinya karena dia merasa inferior ketika melihat ada orang yang lebih superior darinya. Solusi mengatasi egosentrisme seperti ini adalah memiliki pikiran terbuka, menganggap dirinya tidak lebih daripada orang lain dan dengan rendah hati menganggap di atas langit masih ada langit.

1 komentar: